ACEH – Rabu hari ini, 27 November 2024, sebanyak 3.742.037 warga Aceh memilih kepala daerah di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, yang akan memimpin daerah ujung barat Sumatra yang kaya sumber daya alam. Dan suara masyarakat ini pastinya akan mempengaruhi arah pembangunan Aceh selama lima tahun ke depan.
Masyarakat sudah menyaksikan pelaksanaan debat Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030. Kedua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh menyatakan komitmen mereka menjaga hutan dan lingkungan, termasuk menolak ekonomi ekstraktif dan mengusung ekonomi berkelanjutan.
Namun pada sisi lain, sikap kontradiksi dipertontonkan oleh kedua pasangan calon gubernur, dimana kedua paslon berjanji akan meningkatkan investasi di bidang sumber daya alam termasuk tambang dan perkebunan kelapa sawit.
Seperti diketahui, investasi di sektor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan terjadinya degradasi lahan dan hutan. Deforestasi (penebangan hutan secara liar) besar-besaran terjadi di sejumlah wilayah hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Saat ini luas perkebunan kelapa sawit di Aceh mencapai 565,135 hektar.
Seluas 61.000 hektar lebih hutan rawa gambut Tripa-Babahrot telah dialih fungsi sebagai lahan perkebunan kelapa sawit. Dan saat ini sisa lahan gambut dengan fungsi lindung seluas 11.000 hektar sedang dibuka dan dikeringkan. Sementara 22.000 hektar hutan mangrove di pantai timur Aceh sudah dikuasai oleh konsesi perusahaan eksploitasi kayu arang.
Pemerintah belum mampu mengendalikan laju deforestasi yang rata-rata mencapai 14.527 hektar per tahun dalam kurun waktu 2015 hingga 2022. Bahkan deforestasi selama 8 tahun terakhir mencapai 130.743 hektar. Sedangkan kemampuan untuk reboisasi rata-rata hanya 785 hektar per tahun yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh.
Mengutip data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di Aceh mencapai 51 IUP pada tahun 2024, jauh meningkat daripada tahun 2023 hanya berjumlah 37 IUP. Jenis IUP ini dengan berbagai komoditas mineral dan batubara, dan mineral bukan logam dan mineral, seperti emas, bijih besi, trass, dan lain-lain.
Di Beutong Ateuh Banggalang, meski masyarakat menang atas tolak tambang, tapi masyarakat khawatir karena sampai saat ini Kementerian ESDM belum mengeluarkan Beutong dari zona tambang.
Terdapat berbagai permasalahan perizinan tambang di Aceh dimulai dari tumpang tindih perizinan dan kawasan hutan (hutan lindung), keterbukaan informasi perizinan, dan lemahnya partisipasi dan pengawasan masyarakat terhadap kegiatan pertambangan.
“Dan yang paling mengkhawatirkan adalah Aceh akan berpotensi menuju darurat bencana ekologi,” ungkap Koordinator Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh (KSLHA), Yusmadi Yusuf, Rabu (27/11/2024).
Pernyataan Sikap Politik
Demi melindungi sumber daya alam Aceh untuk kepentingan rakyat dan kebaikan lingkungan di masa depan, maka Koalisi SLHA merasa perlu mengeluarkan pernyataan sikap politik, yaitu:
1. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghentikan arah politik dan kebijakan yang liberal dan kapitalistik, serta mengembalikannya sesuai amanat konstitusi, sehingga keadilan, pemerataan dan kesejahteraan kembali terpusat pada rakyat.
2. Menyerukan kepada seluruh rakyat Aceh untuk memposisikan proses pergantian kekuasaan tahun 2024 tidak semata-mata memilih pemimpin, tetapi harus menjadi proses re-orientasi sistem pembangunan yang sesuai dengan mandat konstitusi: memuat hak Masyarakat Adat, Reforma Agraria Sejati, pemulihan alam, dan penguatan demokratisasi.
3. Menyerukan Kepala Daerah Terpilih yang akan berkontestasi dalam Pilkada 2024, harus berkomitmen untuk:
- Melindungi dan meningkatkan status perlindungan hutan dan lahan berbasis masyarakat adat/lokal.
- Melakukan secara benar dan serius agenda reforma agraria, keadilan iklim dan memberikan Hak Masyarakat Adat, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-undang.
- Mengesahkan RUU Masyarakat Adat, RUU Reforma Agraria, RUU Keadilan Iklim, dan RUU lainnya yang berfokus pada kepentingan rakyat.
- Mencabut UU 6/2023 tentang Penetapan PERPPU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, UU 3/2022 tentang IKN dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.
- Meninjau kembali dan merevisi seluruh peraturan perundangan-undangan terkait Perkebunan, Pertanahan, Pertanian, Pangan, Pertambangan dan Energi, serta Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdampak buruk terhadap Masyarakat Adat, petani, nelayan dan rakyat lainnya, untuk dikembalikan kepada mandat UUD 1945, TAP MPR IX/2001, UUPA 1960, putusan MK 3/2010, dan Putusan MK 35/2012.
- Menghentikan model pembangunan dan perjanjian internasional yang liberal yang berjalan dengan cara-cara yang menggusur hak-hak rakyat; melakukan monopoli dan perampasan tanah; melakukan kejahatan lingkungan hidup, serta menjalankan politik pertanian dan pangan yang mengamputasi posisi petani, nelayan, petambak, peternak dan Masyarakat Adat sebagai produsen pangan utama;
- Mengeksekusi usulan-usulan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) dari organisasi rakyat dan serikat untuk menuntaskan masalah ketimpangan dan konflik struktural agraria yang berkaitan dengan hak atas tanah/izin/konsesi masalah seperti HGU PTPN/klaim aset pemerintah, HGU swasta, HGU/ HGB terlantar, Perhutani/Inhutani, HTI, bisnis konservasi, PSN dan desa transmigrasi;
- Pemerintahan ke depan harus mengeluarkan keputusan politik untuk menghentikan proses hukum yang sedang berjalan, membebaskan yang sedang di penjara, dan memulihkan nama baik Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Pejuang Lingkungan dan Agraria yang telah menjadi korban kriminalisasi, termasuk yang sudah menjalani hukuman di masa lalu.
- Pemerintahan baru harus mencabut hak atas tanah dan perizinan usaha yang diperoleh dengan cara merampas tanah rakyat dan menghancurkan lingkungan.
Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh 12 lembaga yang berhimpun di dalam Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh, yakni Aceh Wetland Foundation (AWF), Aceh Movement Society (AMS), Yayasan APEL Green Aceh, Yayasan Hutan Hujan Aceh, LSM LembaHtari, LSM Generasi Beutong Ateuh Banggalang, Gayo Rimba Bersatu, LSM Harimau Pining, LSM Kesatuan Aneuk Nanggroe Aceh, LSM Balee Jurong, Komunitas Aceh Mangrove Youth, serta Komunitas Pemuda Pejuang Tanah Rakyat.
“Penolakan ekonomi ekstraktif ini tidak hanya sekedar basa-basi politik. Sebab, kita butuh pemimpin yang memiliki political will guna melindungi sumber daya alam untuk kepentingan rakyat, terutama masyarakat yang hidup di sekitar hutan,” tegas Yusmadi, Koordinator KSLHA yang juga Direktur Eksekutif AWF.[c]