ACEH – Aktivis perempuan Yulindawati turut menanggapi polemik antara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan Partai Gerindra terkait pengangkatan Alhudri sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, Sabtu, (22/02/25).
Dalam pernyataannya, Yulindawati mendorong pihak berwenang mengusut dugaan pelanggaran hukum dalam proses pengangkatan Plt Sekda Aceh tersebut, terutama terkait keabsahan Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Aceh (BKA).
“Saya sarankan pihak kepolisian untuk menyelidiki jika memang ada indikasi pelanggaran hukum sebagaimana yang diutarakan Ketua DPRA. Jika benar bahwa SK tersebut bukan produk resmi BKA, maka patut diduga terjadi maladministrasi, atau bahkan bisa dikategorikan sebagai pemalsuan dokumen negara,” ujarnya kepada Civilians.id, Minggu (23/2/2025).
Ia menegaskan dugaan pemalsuan dokumen negara ini harus segera dilaporkan kepada pihak berwajib agar dapat diproses sesuai hukum berlaku.
Polemik pengangkatan Plt Sekda Aceh ini mencuat setelah Ketua DPRA Zulfadli mengungkap sejumlah kejanggalan dalam SK tersebut dan menuding Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah (Dek Fadh) sebagai dalangnya.
Dalam rapat paripurna yang digelar di DPR Aceh, Jumat (21/2/2025) malam, Zulfadli meminta operator menampilkan SK penunjukan Alhudri.
Dia kemudian membeberkan kejanggalannya, salah satunya soal poin pertama dalam penunjukan mantan Kadinsos Aceh itu sebagai Plt Sekda
Di SK tersebut terlihat tidak terdapat paraf, hanya ada tandatangan Mualem. “Ada nggak paraf BKA (Badan Kepegawaian Aceh) di situ (di-SK)? Paraf asisten ada tidak?” tanya Zulfadli.
Kejanggalan lainnya, kata Zulfadli, lambang burung Garuda pada kop surat juga tak lazim.
“Kalau ini produk BKA atau produk Pemerintah Aceh, (lambang burung Garuda) ini lebih kecil, tulisan Gubernur Aceh ini di-bold, tulisan BKA biasanya diketik bukan dicetak. Kop SK ini bukan dari BKA. BKA tidak pernah memproses SK ini,” ungkap Ketua DPR Aceh itu.
Kritik Terhadap Pemerintahan Baru
Lebih lanjut, Yulindawati juga mengkritisi awal kepemimpinan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem).
Menurutnya, meski baru berjalan kurang dari sebulan, tanda-tanda ketidakseimbangan dalam pemerintahan mulai terlihat.
“Bau ambisi kekuasaan mulai tercium, dan ini bukan pertanda baik. Dengan lemahnya pemahaman Mualem dalam birokrasi serta administrasi pemerintahan, kondisi ini bisa berbahaya bagi stabilitas kepemimpinan. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa pada tahun kedua, pemerintahan ini bisa mengalami gejolak besar,” tambahnya.(asd)