ACEH – Konflik kepemilikan lahan seluas kurang lebih 100 Hektare di Gampong Teupin Raya, Kecamatan Julok, Aceh Timur, memanas dengan aksi saling klaim antara warga dan Pemkab Aceh Timur yang terjadi sejak Jumat (4/10/2024).
Pihak warga mengatakan, lahan kebun mereka diserobot oleh perusahaan sawit PT Beurata Maju sejak tahun 1992 dan kini dikuasai Pemkab Aceh Timur yang kemudian diduga menunjuk perusahaan lain untuk memetik hasil sawit di lahan tersebut.
Warga kemudian berupaya mendapatkan kembali lahan itu dengan mendesak pihak perusahaan dan Pemkab Aceh Timur untuk memperjelas tapal batas antara HGU perusahaan dengan wilayah gampong, karena sebagian lahan itu masuk dalam wilayah Gampong Teupin Raya.
Selain itu, mereka juga mendesak PT Beurata Maju menunjukkan bukti peralihan hak atas lahan dimaksud, dan meminta perusahaan menghentikan sementara aktivitasnya di lahan tersebut hingga sengketa ini diselesaikan.
Tiga poin tuntutan itu dituliskan pada spanduk yang dipasang di area lahan sengketa pada Jumat (4/10/2024). Aksi warga ini kemudian disikapi oleh Pemkab Aceh Timur dengan menurunkan petugas Satpol PP untuk mencabut spanduk tersebut, dan pada Senin (7/10/2024) di sekitar lokasi itu sudah terpasang plang bertuliskan; Tanah dan HGU seluas 496 Ha PT Beurata Maju Milik Pemda Aceh Timur, No:104/HGU/BPM/1997.
Menyikapi aksi balasan dari pihak Pemkab Aceh Timur itu, warga mengatakan tidak akan berhenti untuk mendapatkan kembali lahan mereka yang dirampas. “Kami akan terus berjuang hingga hak kami atas lahan tersebut dipenuhi,” kata Nurdinsyah, Koordinator Forum Masyarakat Adat Peduli Gampong Teupin Raya, Kamis (10/10/2024).
Terkait persoalan ini, Civilians.id mencoba menghubungi Camat Julok, Adnan SAg di nomor 0813****5199. Namun permintaan konfirmasi yang dikirim tidak dibalas, panggilan telepon juga tidak dijawab.
Sementara itu, Nurdinsyah, korban penyerobotan lahan yang kemudian ditunjuk oleh warga menjadi Koordinator Forum Masyarakat Adat Peduli Gampong Teupin Raya, menceritakan bahwa penyerobotan lahan kebun masyarakat oleh perusahaan sawit di Gampong Teupin Raya dan sekitarnya itu terjadi sepanjang tahun 1992 hingga 1997, saat konflik bersenjata di Aceh sedang berkecamuk.
“Saat itu, sebagian warga terpaksa meninggalkan desa untuk menghindar dari konflik bersenjata yang sering memakan korban jiwa. Sehingga kebun yang menjadi sumber penghidupan warga secara turun-temurun, tidak tergarap. Dan saat kami kembali ke desa, kebun kami yang sebelumnya kami tanami kopi, rambutan, karet dan cokelat, sudah ditanami sawit oleh pihak perusahaan. Bahkan sebagian wilayah desa pun masuk dalam HGU PT Beurata Maju. Sehingga sebanyak 48 kepala keluarga kehilangan lahan kebunnya,” kata Nurdinsyah.
Mewakili warga, Nurdinsyah berharap Pemkab Aceh Timur bersikap bijaksana dalam menyelesaikan persoalan ini dengan menggelar musyawarah yang mengundang pihak perusahaan dan pihak terkait lainnya, untuk memperjelas status lahan dan tapal batas HGU.
“Selama ini, pihak manajemen perusahaan tidak pernah mau memenuhi undangan kami untuk berdialog dengan warga. Dan kini, lahan tersebut malah diklaim sebagai milik Pemkab Aceh Timur yang menurut informasi kami dapat, sudah dikontrakkan kepada perusahaan lain untuk memanen sawit di lahan sengketa. Karena itu, kami meminta pemerintah bersikap bijaksana dalam menyelesaikan persoalan ini,” ungkapnya.
Ketua Aliansi Masyarakat Menggugat Keadilan (AMMK), Mudawali menambahkan bahwa konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan sawit tidak hanya terjadi di Teupin Raya, tapi juga di sejumlah desa lainnya dalam beberapa kecamatan di Aceh Timur. Namun masyarakat yang kebanyakan adalah korban konflik ini tidak berani bersuara dalam menuntut haknya.
“Tindakan sewenang-wenang ini tidak bisa dibiarkan. Kami akan melawan, walau nyawa taruhannya,” tegas Mudawali.[c]