ACEH – Petisi lingkungan yang diluncurkan KSLHA dalam delapan bahasa sejak Kamis (8/8/2024) melalui website hutanhujan.org, hingga hari ketiga pada Minggu malam sudah ditandatangani 20.955 orang.
Jumlah penandatangan petisi online ini naik dengan cepat karena diluncurkan dalam delapan bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Jerman, Inggris, Belanda, Prancis, Spanyol, Portugal, dan Italia.
Petisi ini menyerukan kepada pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Aceh, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, untuk melindungi Kawasan Lindung Gambut Tripa dari okupasi lahan untuk industri perkebunan kepala sawit.
Koordinator Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh (KSLHA), Yusmadi Yusuf mengatakan, pihaknya menargetkan 30.000 penandatangan untuk dapat memberi tekanan kepada Pemerintah Indonesia agar proaktif menghentikan laju kerusakan hutan gambut khususnya di Rawa Tripa.
“Rawa Tripa perlu diselamatkan karena kawasan ini merupakan rumah terakhir bagi Orangutan Sumatera yang kini hampir punah akibat okupasi hutan dan konflik satwa-manusia khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL),” ujar Yusmadi, Minggu (11/8/2024).
Yusmadi menambahkan, petisi ini diluncurkan setelah KSLHA melakukan investigasi lapangan dan menemukan bukti baru bahwa Kawasan Lindung Gambut Tripa kini kembali dirambah oleh PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur (SPS) yang sudah beroperasi di kawasan itu sejak puluhan tahun lalu.
Hasil investigasi oleh KSLHA dan APEL Green Aceh ini sudah diterbitkan di website Aceh Wetland Foundation pada 22 Mei 2024 dengan beberapa temuan, di antaranya; ilegal logging, pembukaan kanal dengan excavator dan penanaman sawit sampai di kawasan lindung gambut ini.
Sejumlah kayu yang sudah ditebang kemudian diangkut ke luar hutan, Aktivitas perambahan hutan ini sudah berlangsung lama namun tidak ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum.
Berikut beberapa poin hasil investigasi KSLHA:
Deforestasi 2022-2024
Kawasan lindung gambut di Nagan Raya luasnya mencapai 11.380,71 hektar.
Analisa citra satelit menunjukkan pada tahun 2022 luas tutupan hutan masih berkisar 6.874,37 hektar.
Pada April 2024, jumlah luas tutupan hutan hanya sekitar 6.265,56 hektar.
Angka kehilangan tutupan hutan di dalam kawasan lindung gambut mencapai 608,81 hektar.
Kerusakan hutan gambut yang parah dan mengancam krisis ekologi.
Hutan Dikuasai Perusahaan Perkebunan Sawit
Sisa hutan gambut terakhir di Nagan Raya ini masih tumpang tindih dengan penguasaan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Peta hasil overlay dengan peta HGU di Nagan Raya menunjukkan HGU PT Surya Panen Subur (SPS) 2 seluas 7.565,26 hektar, dan HGU PT Kallista Alam (KA) seluas 520,78 hektar.
Sehingga total jumlah luas HGU dalam kawasan lindung gambut 8,086.04 hektar.
Kondisi hutan ini sedang dalam ancaman pengeringan untuk budidaya perkebunan kelapa sawit.
Minyak kelapa sawit yang berasal dari deforestasi, kerusakan rawa, kehancuran habitat satwa endemik yang terancam punah dan emisi gas rumah kaca tersebut, sampai hari ini masih dijual ke pasar dunia.
Karena itu melalui petisi ini, masyarakat internasional diajak untuk ikut bersuara guna mencegah bencana ekologis yang lebih parah di Rawa Tripa.
Orangutan Makin Terusir
Deforestasi di hutan gambut Rawa Tripa telah menyebabkan populasi Orangutan di wilayah itu makin terusir.
Beberapa kasus Orang Utan terdampak akibat okupasi sawit di hutan gambut Babahrot:
Pada 12 Maret 2019, satu anak Orangutan jantan usia 5 bulan ditemukan terisolir di kebun masyarakat dan dievakuasi ke Pusat Karantina Orang Utan Sumatera di Batu Mbelin Sumatera.
Pada 28 Oktober 2020, satu induk Orang Utan dan anaknya terisolir dalam kebun masyarakat.
Pada 9 April 2022, 2 induk Orang Utan dan anak usia 2 dan 5 tahun ditemukan dalam kondisi kurus di hutan Babahrot dan dievakuasi ke Pusat Reintroduksi Orang Utan Jantho.
Penguasaan hutan dan lahan gambut melalui izin Hak Guna Usaha (HGU) telah menyebabkan tersulutnya banyak konflik lahan dengan masyarakat.
“Karena itu, kami berharap petisi ini bisa mendorong Pemerintah yang saat ini sedang menyusun dokumen Rencana Tata Ruang Kabupaten Nagan Raya, agar memperkuat status hukum terhadap Kawasan Lindung Gambut Tripa,” tambah Rahmad Syukur, Ketua Divisi Kampanye KSLHA, kepada Civilians.id.[c]