ACEH – Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh (KSLHA) yang beranggotakan 8 LSM peduli lingkungan, menagih komitmen pemerintah Indonesia yang disampaikan dalam Forum COP16 di Cali, Kolombia pada 1 November 2024 lalu, yaitu; Menghormati, melindungi dan mengakui pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik yang dilakukan masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim dan relevan dengan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati.
“Terkait komitmen pemerintah Indonesia yang dinyatakan dalam Forum COP16 tersebut, maka kami dari KSLHA yang mewakili masyarakat adat Pining mendesak Menteri Kehutanan yang baru dilantik untuk mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Said Muchtar (PBPH-SM). Karena pemberian izin tersebut akan berdampak hilangnya ruang masyarakat adat mencari penghidupan dari hasil hutan dan keanekaragaman hayati yang berdampak pada terjadinya bencana ekologi,” ungkap Yusmadi Yusuf, Koordinator KSLHA, kepada civilians.id, Senin (25/11/2024).
Menurutnya, desakan kepada Menteri Kehutanan yang baru, Raja Juli Antoni, ini disampaikan oleh KSLHA melalui pernyataan sikap yang ditandatangani delapan anggota KSLHA yaitu; Aceh Wetland Foundation (AWF), Selamatkan Hutan Hujan, Forum Harimau Pining, Lembaga Pengelola Hutan Kampung Pining, Gayo Rimba Bersatu, Yayasan APEL Green Aceh, Lembahtari, dan Generasi Beutong Ateuh Banggalang
Yusmadi menjelaskan, desakan ini didasarkan pada fakta bahwa hutan yang menjadi tempat masyarakat Pining menggantungkan hidupnya itu, kini sedang dalam incaran pengalihan fungsi, dimana pemerintah memberikan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Said Muchtar (PBPH-SM) seluas 200 hektar.
Lahan tersebut merupakan lahan yang akan disiapkan untuk kalangan mantan kombatan GAM sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Gayo Lues Nomor 500.17/166/2023 tentang pembebasan lahan di kawasan Hutan APL di perbatasan Desa Pepelah dan Pasir Putih.
Pengalokasian lahan mantan kombatan GAM, Tapol/Napol dan imbas konflik ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik agraria, kedaulatan petani, ketahanan pangan, peningkatan ekonomi, dan pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan lestari. Namun, pencadangan hutan Pining untuk lahan mantan kombatan ini justru dikhawatirkan akan berdampak pada sosial dan lingkungan masyarakat Pining. Apalagi, Hutan Pining adalah kawasan hutan hujan yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser.
Untuk diketahui, Mukim Pining dan Mukim Goh Lemu terletak di Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, dengan luas wilayah kawasan hutan di Kecamatan Pining mencapai 95.568,00 hektar, dengan ketinggian 400 mdpl dari permukaan laut yang memiliki flora dan fauna hingga hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang cukup tinggi dan bersifat perlindungan serta konservasi. Salah satu HHBK yang dimanfaatkan masyarakat kampung Pertik, Kecamatan Pining adalah madu hutan.
Sebelumnya, masyarakat Pining sudah mengajukan hak atas hutan adat ke Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Tapi pada saat yang sama, pemerintah juga mengeluarkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk Said Muchtar seluas 200 hektare di Desa Papelah dan Pasir Putih di Kecamatan Pining. Sehingga terjadi tumpang tindih antara perizinan PBPH dengan pencadangan hutan adat Pining.
Bagi masyarakat Pining, hutan telah membentuk karakter dan tradisi adat istiadat yang melekat pada masyarakat adat. Mereka telah melindungi, mengelola dan memanfaatkan hutan secara turun temurun.
Suku Gayo yang hidup turun-temurun di Pining juga memiliki tata ruang sendiri dalam penggunaan dan perlindungan kawasan hutan. Masyarakat adat Pining hidup berdampingan dengan hutan dan satwa. Dan itu sudah berlaku sejak ratusan tahun lalu.
Mereka (masyarakat adat di Pining) menjadikan hutan dan sungai untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, seperti Beriken (mencari ikan di sungai di tengah hutan), Becandan, Betegangu, Bealim (mengambil rempah non kayu di hutan), Ngaro (berburu secara tradisional), Berempus (bertani secara tradisional) yang sangat bergantung dari kawasan hutan yang dilindungi.
Bencana banjir bandang
Wilayah Pining adalah kawasan hulu dari aliran sungai Tamiang. Aktivitas illegal logging masih menghantui dalam kawasan ekosistem hutan ini. Akibatnya, kawasan ini dalam ancaman bencana ekologi.
Kawasan permukiman di Kecamatan Pining ini pernah dihantam gelombang banjir bandang pada tahun 2006 dan tahun 2012 yang menghancurkan seluruh infrastruktur termasuk jembatan. Eksploitasi hutan untuk pengembangan kawasan budidaya perkebunan untuk hutan Pining ini dikahawatirkan akan menambah daftar masalah pengelolaan hutan di Pining.
Komitmen Indonesia pada Forum COP-16 Diuji
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia sudah menyatakan komitmennya dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati ke-16 (COP16 CBD), di Cali, Kolombia pada 21 Oktober-1 November 2024, dimana Pemerintah Indonesia mengakui dan mendukung pembentukan Subsidiary Body on Article 8j.
Secara garis besar, Article 8j berkaitan dengan penghormatan, perlindungan dan pengakuan pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik yang dilakukan masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim dan relevan dengan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati.
Sementara itu, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang baru dilantik oleh Presiden Prabowo beberapa waktu lalu, pada saat serah terima jabatan dengan Menteri LHK Siti Nurbaya pada Selasa (22/10/2024) lalu juga menegaskan, bahwa komitmen pemerintah dalam menjaga hutan ke depan tercermin dalam perintah khusus Presiden Prabowo kepada pihaknya untuk menjaga hutan, karena hutan Indonesia itu merupakan paru-paru dunia.
“Kemudian, hutan yang kita miliki berorientasi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Di saat yang sama, dicari titik temu dengan program nasional yang membutuhkan investasi, lahan. Karena itu, diperlukan transformasi digital dan transparansi data. Sehingga kedua hal tersebut tidak bertentangan, tetapi saling mendukung,” ujarnya seperti dikutip dari laman ppid.menlhk.go.id.
Terkait komitmen Pemerintah Indonesia ini, Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh (KSLHA) pun menyampaikan beberapa poin tuntutan terhadap kelestarian ekosistem hutan Pining dan kesejahteraan masyarakat setempat.
1. Mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kehutanan untuk mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Said Muchtar (PBPH-SM). Karena pemberian izin tersebut akan berdampak hilangnya ruang masyarakat adat mencari penghidupan dari hasil hutan dan keanekaragaman hayati yang berdampak pada terjadinya bencana ekologi.
2. Masyarakat Adat Pining menolak keras segala macam bentuk kegiatan eksploitasi yang dapat mengancam keberadaan hutan Pining. Jika Pemerintah dan pihak berwenang tidak tanggap akan persoalan ini dikhawatirkan akan menjadi potensi konflik antar masyarakat di Kecamatan Pining.
3. Mendesak Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kehutanan untuk segera memberikan hak Hutan Adat kepada masyarakat Pining dan kelompok masyarakat adat lainnya di seluruh Aceh.
“Karena, keberadaan hutan bagi masyarakat Pining merupakan hak dasar untuk dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan,” ujar Yusmadi, Koordinator Koalisi SLHA.[c]