Suarakan Kedaulatan Sipil untuk Demokrasi I Voice of Civil Sovereignty for Democracy

sarang lebah hutan mukim
Sarang lebah penghasil madu berjuntai di pepohonan hutan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya. Dulunya, setiap aktivitas di hutan termasuk pengambilan madu terikat oleh aturan adat demi menjaga kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Namun saat ini aturan adat dimaksud tidak lagi diterapkan karena pengebirian Lembaga Mukim sebagai penegak aturan adat.

Merebut Kembali Kedaulatan Mukim yang Dirampas Negara

“Kewenangan Pemerintah Mukim khususnya terkait hak politik dan hak ulayat masih dikebiri untuk mengamankan kepentingan penguasa.”

MUKIM adalah bentuk paling dasar dan hakiki dari struktur pemerintahan khas Aceh untuk mewujudkan ungkapan: “Berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya”.
Hal ini sudah sangat jelas dijabarkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sehingga menjadi amanah (mandat) yang mengharuskan (imperatif) Mukim dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan dan penerapannya di tingkat lokal.

Tapi nyatanya, proses pembangunan baik yang bersifat fisik-kewilayahan maupun pembangunan sosial-ekonomi di Aceh belum melibatkan Pemerintahan Mukim sebagai struktur yang bukan sekedar diakui, tapi juga dilibatkan secara aktif.

Mengapa pelibatan Mukim penting dalam proses pembangunan? Karena harus disadari bahwa Pemerintah Indonesia yang direpresentasikan oleh Presiden dengan perpanjangan tangannya di daerah (Gubernur dan Bupati/Wali Kota), telah menjadi pelayan bagi kepentingan ekonomi global dalam menguasai sumber daya alam yang melimpah di negeri ini, termasuk di Aceh.

Gencarnya upaya pemerintah dalam menarik pemodal asing (investor) dalam menggarap sektor pertambangan, perkebunan dan industri ekstraktif lainnya, menunjukkan bahwa negara ini sangat bersemangat untuk menjual sumberdaya alamnya kepada asing.

Segala kemudahan yang ditawarkan, seperti dalam proses perizinan, keringanan pajak, dan mekanisme penguasaan hutan/lahan dalam jangka panjang, menjadi bukti lain dari sikap pemerintah dalam memanjakan investor yang sebenarnya merupakan jelmaan dari penjajahan model baru (neokolonialisme) dalam rangka menguras kekayaan alam negeri ini.

Jika ada masyarakat yang protes karena kehilangan lahan garapan, kehilangan mata pencarian atau terganggu ruang hidupnya, akan dihadapkan pada hukum negara yang lagi-lagi membela investor dengan alasan stabilitas nasional dan kenyamanan berinvestasi. Mereka yang menuntut hak ulayat dengan aksi protes yang berpotensi mengganggu iklim investasi, akan dihukum agar tak mengulangi perbuatannya, sekaligus untuk menakuti warga lain yang senasib agar tidak melakukan protes serupa.

Di saat pemerintah (pusat) kurang berpihak pada masyarakat kecil/tradisional, harapan terbesar masyarakat Aceh ada pada Pemerintahan Mukim yang sejak lama sudah menjalankan fungsinya dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di tingkat komunal. Apalagi kini ada Lembaga Adat Wali Nanggroe yang menaunginya.

Dalam konteks penanggulangan bencana lingkungan seperti banjir, longsor, erosi dan abrasi yang semakin parah, Pemerintahan Mukim juga seharusnya terlibat aktif mengantisipasinya. Karena sejak dulu, kearifan lokal dalam menjaga lingkungan (gunung, hutan, sungai, rawa, laut dan pesisir, bahkan terkait satwa liar) sudah menjadi wewenang mukim untuk mengaturnya. Tapi karena peran mukim diabaikan bahkan dihilangkan, maka aturan-aturan adat yang dulu berlaku di tengah masyarakat adat/tradisional, kini dengan mudah dilanggar baik oleh individu maupun perusahaan, dengan dukungan negara melalui aparaturnya.

Seharusnya, Mukim bisa menjadi benteng terakhir bagi penyelamatan lingkungan dan penjamin bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat/tradisional di Aceh yang mayoritas berprofesi sebagai petani, nelayan, pekebun, dan peternak, yang bergantung pada kondisi alam yang lestari. Sehingga masyarakat pinggiran tidak kehilangan mata pencarian dan kemudian terpaksa menjadi buruh yang digaji dengan upah murah dan berpotensi kehilangan martabatnya sebagai manusia merdeka.

Persoalan yang Dihadapi Mukim

Kedaulatan Lembaga Mukim dalam struktur resmi pemerintahan sudah ada sejak era Kesultanan Aceh (1507 M) yang tetap diakui dan dipertahankan dalam UUD 1945 (Pasal 11 Aturan Peralihan) dan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan 5 Tahun 1956. Tapi kemudian, diberangus oleh Pemerintah Indonesia di masa Orde Baru (1966-1998).

Oleh rezim Orde Baru, Mukim dihapus dengan UU Nomor 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan UU Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Sehingga, selama kurang lebih 35 tahun, Pemerintah tidak lagi mengakui keberadaan Mukim. Inilah awal hilangnya kedaulatan Mukim. Dimana tatanan adat yang sudah hidup dalam struktur masyarakat Aceh itu dicabut hingga ke akarnya.

Seluruh wilayah kelola Mukim pun beralih penguasaannya oleh Negara, yang kemudian didistribusikan kepada perusahaan-perusahaan dalam bentuk konsesi lahan dan hutan, yang didukung oleh sejumlah peraturan perundang-undangan untuk melegalkan praktik perampasan hak-hak masyarakat adat oleh rezim yang berkuasa saat itu.

Meskipun di era Reformasi (1998-1999) kedua UU tersebut dicabut, namun tidak mudah untuk menghidupkan kembali fungsi dan peran Mukim di tengah masyarakat Aceh. Karena cukup banyak aturan (regulasi) yang kemudian saling bertabrakan.

Ditambah lagi munculnya kecurigaan dari para penguasa, bahwa Lembaga Mukim akan menjadi pesaing bahkan musuh baru bagi mereka dalam upaya menguasai sumberdaya alam khususnya di Aceh. Di samping juga akibat memudarnya pemahaman masyarakat Aceh sendiri dalam memaknai peran dan fungsi Mukim yang bukan hanya sebagai Lembaga Adat, tapi juga sebagai Lembaga Pemerintahan yang legitimate.

Usaha Pemerintah Aceh (Pascapenandatanganan MoU Helsinki) untuk memulihkan peran dan fungsi Mukim sudah diupayakan melalui UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kemudian diturunkan dalam Qanun Aceh Nomor 9/2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat, lalu Qanun Aceh Nomor 10/2008 tentang Lembaga Adat, dan Qanun Aceh Nomor 3/2009 tentang Tata Cara Pemilihan Imuem Mukim.

Saat ini, dari 23 kabupaten/kota di Aceh, 17 kabupaten/kota di antaranya sudah membuat qanun tingkat kabupaten tentang Pemerintahan Mukim. Bahkan di Kabupaten Aceh Besar, Pj Bupati Muhammad Iswanto telah menerbitkan Surat Keputusan bernomor 224 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Mukim yang ditandatangani 16 April 2024.

Namun semua regulasi ini, belum cukup untuk mendudukkan kembali Mukim sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum (adat) yang memiliki wilayah (ulayat) sendiri dan berwenang mengatur serta mengelola sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.

Persoalannya adalah; kebanyakan aturan perundang-undangan terkait Mukim yang ada saat ini masih bersifat normatif. Sehingga masih dibutuhkan aturan/regulasi yang bersifat operatif, yang menjelaskan secara detail tugas dan fungsi Mukim khususnya terkait peran sebagai lembaga politik (Pemerintahan) di tingkat lokal/komunal.

Karena faktanya, di sejumlah qanun baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Mukim tidak dilibatkan dan tidak diberi kewenangan untuk ikut mengatur tata kelola wilayah (seperti pada Qanun RTRW kabupaten/kota) atau pada regulasi/kebijakan lainnya yang terkait investasi dan pemanfaatan sumberdaya alam, serta yang terkait dengan pencegahan bencana alam.

Bahkan, kewenangan mukim masih diganjal dengan pasal-pasal yang mengharuskan adanya persetujuan gubernur/bupati/walikota dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam yang berada di wilayah suatu mukim. Meskipun dalam qanun yang sama juga disebutkan bahwa Mukim berhak mengelola sumberdaya Mukim –berupa hutan, lahan, batang air, sungai, danau, kuala, laut, gunung, paya, rawa—sebagai bagian dari ulayat Mukim, namun pemanfaatannya masih diatur oleh pimpinan pemerintahan di tingkat lebih tinggi (pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota).

Ini jelas-jelas menentang asas subsidiaritas (subsidiarity principle) dan asas pengakuan (recognition principle), yang justru menjadi landasan pengakuan otonomi lokal seperti diamanahkan dalam UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Kesimpulannya, kewenangan Pemerintah Mukim khususnya terkait hak politik dan hak ulayat masih dikebiri untuk mengamankan kepentingan penguasa, dengan mengabaikan kepentingan masyarakat tradisional yang terjebak pada kemiskinan di tengah kondisi lingkungan yang rusak parah.

Di tingkat Mukim sendiri, juga masih banyak persoalan yang membuat Pemerintah Mukim belum berdaulat. Antara lain; lemahnya kapasitas lembaga mukim akibat keterbatasan SDM dan fasilitas pendukung, belum adanya atau belum sempurnanya perangkat hukum (qanun mukim dan turunannya), minimnya dana operasional, adanya keraguan dari aparatur mukim dalam menjalankan tugas dan fungsinya akibat regulasi yang tidak jelas dan saling bertabrakan, tarik-menarik kepentingan politik di tingkat lokal hingga nasional, dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hakikat kelembagaan Mukim.

Walaupun masih banyak faktor-faktor yang menghambat kinerja lembaga Mukim, tapi setidaknya persoalan-persoalan di atas cukup relevan untuk menggambarkan masalah yang dihadapi Mukim saat ini dalam mewujudkan cita-cita “Berdaulat secara Politik, Mandiri secara Ekonomi, dan Bermartabat secara Budaya”.
Untuk itu, upaya bersama yang perlu segera dilakukan saat ini adalah:

Merumuskan kembali Adat Aceh

Pemerintah dan masyarakat Aceh perlu mendudukkan kembali hadih maja: “Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana. Namun tantangannya adalah, kondisi Aceh hari ini tak lagi sama dengan kondisi Aceh di masa Kesultanan. Karena itu penataan masyarakat adat dan lembaga adat (Mukim) tidak bisa lagi hanya bersandar pada Qanun Syara’ Kesultanan Aceh dan Qanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam.

Rujukan adat masa kesultanan itu perlu diperkuat melalui upaya dan kerja sama dalam mengelaborasi adat Aceh masa lalu dengan kebutuhan masyarakat adat saat ini, dengan menyesuaikan kondisi lingkungan, sosial-politik-ekonomi, kebiasaan dan perilaku masyarakat Aceh pascakonflik, serta perlu mempertimbangkan pola hidup dan budaya masyarakat masa kini dan masa datang. Sehingga akan lahir konsep adat Aceh yang progresif dan menjawab kebutuhan masyarakat sesuai perkembangan zaman.

Upaya menggali, mengkaji, dan menyusun ulang aturan adat ini bisa dilakukan dengan menggelar semacam musyawarah besar (Duek Pakat Raya) masyarakat adat se-Aceh, dan ini menjadi ranahnya Lembaga Wali Nanggroe sebagai pemangku adat tertinggi di Aceh yang menaungi seluruh lembaga Mukim –termasuk Lembaga Hukom Adat Laot yang seharusnya tidak keluar dari struktur Pemerintahan Mukim.

Dekonstruksi Sikap dan Pola Pikir

Perlu adanya perubahan (dekonstruksi) sikap dan pola pikir terutama di kalangan pembuat kebijakan, yang beranggapan bahwa lembaga Pemerintahan Mukim hanya semata mengurusi adat.

Banyak kajian yang membuktikan bahwa sistem-sistem tradisional seperti Mukim justru menjadi alternatif dalam menerobos kebuntuan hukum positif dan memecahkan masalah pelik di dunia modern. Seperti soal kerusakan lingkungan hidup, konflik sosial, kemiskinan, pelanggaran hak asasi, pemerataan ekonomi, penanggulangan bencana, penciptaan lapangan kerja baru, bahkan soal konflik satwa, hingga perdagangan karbon.

Perubahan sikap dan pola pikir ini harus menjadi perhatian Pemerintah baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota hingga Pemerintah Gampong, dengan selalu melibatkan Mukim dalam setiap pengambilan kebijakan, penyusunan peraturan daerah, dan menjadikan Mukim sebagai salah satu stakeholder resmi di pemerintahan yang melekat pada sistem tradisional khas Aceh.

Advokasi Kebijakan dan Penguatan Lembaga Mukim

Pembangunan ulang (rekonstruksi) model aturan atau sistem hukum di ranah Mukim dilakukan dengan mendorong lahirnya qanun-qanun mukim dan aturan turunannya, sesuai kebutuhan.

Hukum adat dan aturan-aturan lama yang hidup di masyarakat, perlu dikodifikasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan (qanun) di tingkat Mukim. Karena pada umumnya, aturan dan hukum adat tersebut tidak tertulis namun diakui dan ditaati oleh masyarakat.

Ini juga untuk memudahkan aparatur mukim menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan aturan teknis operasional, sekaligus memperjelas kewenangannya dalam sistem hukum negara.

Kegiatan ini bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya (LSM) yang aktif melakukan advokasi di tingkat tapak.

Reformasi Birokrasi

Reformasi (pembaruan) birokrasi khususnya di jajaran Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota untuk melepas sebagian kewenangannya kepada Lembaga Adat/Pemerintahan Mukim sesuai amanah UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Hal ini sangat bergantung pada keikhlasan pemerintah selaku pengambil dan pembentuk kebijakan. Karena semua aturan operatif dan fungsional sangat dibutuhkan untuk membuat Mukim benar-benar wujud dan berdaulat, bukan sekedar ‘pajangan’ untuk semata-mata menunjukkan identitas ke-Acehan pada dunia luar.

Reformasi birokrasi ini juga mensyaratkan pembubaran lembaga Majelis Adat Aceh (MAA) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Karena sejak berdirinya Lembaga Wali Nanggroe, praktis segala urusan adat tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melalui lembaga yang dibentuknya.

Ini perlu dilakukan untuk menghindari dualisme dalam hal pembinaan masyarakat dan lembaga adat di Aceh. Apalagi, pimpinan dan pengurus MAA selama ini juga tidak merepresentasikan perwakilan Mukim, namun merupakan pejabat yang diangkat oleh dan sesuai keinginan pimpinan pemerintah daerah.

Walaupun tidak dipungkiri bahwa MAA juga turut andil dalam memperkuat lembaga adat di Aceh. Namun tetap saja lembaga ini harus sejalan dengan arah kebijakan pemerintah yang terkadang bertentangan dengan aspirasi Mukim.

Buktinya, para imuem mukim kemudian juga membentuk Forum Mukim di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagai wadah di luar struktur pemerintah untuk menyalurkan aspirasi mereka secara independen. Dan secara politis, ketua forum mukim yang dipilih para imum mukim itu lebih legitimate dibanding Ketua MAA yang dilantik gubernur atau bupati/walikota.

Hal ini menyiratkan adanya konflik kepentingan antara masyarakat adat dengan pemerintah, yang hanya bisa diselesaikan oleh Lembaga Wali Nanggroe sebagai lembaga adat tertinggi dan seharusnya menjadi satu-satunya lembaga yang mengurusi persoalan adat di Aceh.

Akhir kata, konsep Adat Berdaulat harusnya berpulang kepada Lembaga Mukim yang menggunakan adat sebagai instrumen untuk mengelola diri dan sumberdaya (self-governing community) berupa tanah adat dan hutan-lahan milik komunal (ulayat) termasuk Wilayah Kelola-Masyarakat Hukom Adat Laot (WK-MHAL), yang bersandar pada kearifan lokal dan aturan adat yang berlaku.

Di sisi lain, Mukim Berdaulat juga harus bisa memberi pedoman yang jelas kepada rakyat mukim-gampong dalam memperkuat agama (melalui penegakan akhlak sosial), menjaga tanah air dan kekayaan alam Aceh, serta membagi sumberdaya (kesejahteraan) secara lebih adil dan bijaksana yang didasarkan pada musyawarah-mufakat.

Kedua elemen penting ini (Adat Berdaulat dan Mukim Berdaulat) adalah wujud dari identitas khas masyarakat Aceh yang sesuai dengan kaidah: “Adat ngon Hukom lagee Zat ngon Sifeut”.[]

Penulis: T Hidayat, Direktur Aceh Movement Society.
Email: khramkhrum@gmail.com

Selalu berkomentar dengan bijak dan sopan. Setiap komentar merupakan tanggungjawab pribadi dan tidak berkaitan dengan civilians.id

Bagikan
“Penyerahan zakat ini adalah bagian dari kewajiban sosial kita. Sehingga nantinya, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta membantu pengentasan kemiskinan di Aceh.” ungkap Direktur Utama PT PEMA Faisal Saifuddin
Civilians.id