BOMBANA – Dengan jumlah cadangan mencapai 5.325.790.841 ton bijih nikel yang merupakan cadangan terbesar kedua di dunia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bernafsu untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain utama yang akan mengalahkan Filipina sebagai produsen nikel terbesar di dunia saat ini.
Nikel merupakan mineral logam yang memiliki peranan strategis dalam mendukung transisi energi. Saat ini, Nikel banyak digunakan untuk produksi baterai kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi terbarukan. International Energy Agency (IEA) memproyeksikan permintaan nikel akan meningkat hampir 30 kali lipat pada 2040 seiring berkembangnya industri baterai dan kendaraan listrik.
Di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), kandungan nikel yang tersimpan di tanah leluhur Suku Moronene dan Suku Bajau ini merupakan kekayaan alam yang segera menjadi ancaman nyata bagi lingkungan dan masyarakat pulau tersebut.
Isu krisis lingkungan dan kemanusiaan di Pulau Kabaena ini disuarakan Satya Bumi bersama LSM lokal Sagori, serta mitra internasional Fern dan Rainforest Norway (RFN), di forum internasional OECD-Forum on Responsible Mineral Supply Chains yang digelar 5–7 Mei 2025 di Paris, Prancis.
Dalam sesi bertajuk EU Electric Vehicle Targets: Assessing Human Rights Implications, Deforestation Risks and Industry Readiness, perwakilan Satya Bumi, Hayaa, memaparkan kondisi nyata masyarakat Kabaena yang terdampak langsung ekspansi industri nikel untuk kendaraan listrik global.


Kabaena, pulau kecil seluas hanya 891 km² itu, kini dibebani oleh 15 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang menguasai hampir 655 km² wilayah konsesi. Deforestasi masif telah menghilangkan 3.374 hektare tutupan hutan dalam dua dekade terakhir, termasuk di dalamnya 24 hektare hutan lindung.
Hayaa pun menyoroti kurangnya transparansi rantai pasok mineral dan lemahnya perlindungan hukum di Indonesia, khususnya di sektor pertambangan.
Ia juga memaparkan hasil riset terbaru Satya Bumi yang mengungkap pencemaran logam berat di perairan sekitar Kabaena. Kandungan nikel, arsen, kadmium, merkuri, dan timbal ditemukan dalam air laut dan kerang—menjadikannya tak layak konsumsi.
“Uji laboratorium terhadap urine warga menunjukkan konsentrasi nikel hingga 36,07 mikrogram per liter, jauh di atas ambang normal,” ungkap Hayaa.
Paparan logam berat itu dikaitkan dengan peningkatan kasus kanker, gangguan pernapasan, hingga kebutaan sebagian di masyarakat sekitar tambang. “Yang paling diuntungkan dari industri ini justru sering abai terhadap dampak nyatanya,” tegas Hayaa.


Dalam pernyataannya, Hayaa menekankan pentingnya penerapan standar internasional di lokasi-lokasi tambang seperti Kabaena. Karena sistem hukum nasional Indonesia masih lemah, mulai dari tahap izin, ekstraksi, hingga pemulihan lingkungan. “Perlindungan terhadap komunitas dan lingkungan terlalu sering diabaikan,” ujarnya.
Janji negara untuk memberi perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga, dengan mudah dilanggar oleh pemerintah. Kini, Pulau Kabaena diambang kiamat lingkungan.[c]